Kisah Inspiratif: Jalan Hidup Ajaib Alumni Gontor
Kisah Inspiratif Ustadz Abdillah Hakim, Profesional Petroleum & Gas Enginering. Alumni Gontor tahun 92

Kadang kita sering patah semangat, bahkan terbersit prasangka buruk, ketika kenyataan yang didapat tidak sesuai dengan harapan dari awal.
Padahal sesungguhnya setiap kita masih merasakan pergeseran waktu detik ke detik, menit, bahkan hari dan seterusnya, maka akan selalu ada harapan. Dan masa depan yang diharapkan itu sebenarnya hilang bukan karena tidak hadir tapi ketika kita berhenti berharap dan berjuang untuk itu.
Dan satu hal yang sering dilupakan, walau wajib berusaha untuk itu tapi usaha kita bukan sepenuhnya menjadi jaminan apa yang kita dapat. Ada takdir Allah yang berkuasa atas itu. Dan jika Allah berkendak maka takdir itu terjadi.
Selain dengan upaya, karena man jadda wa jada, maka bisa jadi takdir itu teraih karena doa: doa Ibu, doa ayah, doa guru, doa orang yang kita bantu, doa diri kita sendiri atau mungkin doa dari orang yang tidak kita kenal. Atau bisa juga karena amal baik dan bisa juga karena keberkahan ilmu, hanya Allah yang tau.
Dan saya berhusnuzhon, bahwa dengan usaha kita, para walsan, memasukkan anak ke Gontor adalah bagian dari upaya kita meraih takdir baik dari Allah untuk anak-anak kita.
Takdir baik itu tidak selalu diukur dari materi, tapi keberkahan dan kebermanfaatan ilmu, serta kepribadian yang sholeh. Mendapati salah satunya adalah kenikmatan yang besar. Apalagi ketika ketiga-tiganya hadir. Masya Allah!
Ketika santri/alumni mendapati dirinya atau walsantor mendapati putra-putrinya tidak pinter-pinter amat saat mondok, ketika lulus biasa aja, tidak istimewa, mau kuliah orangtua tidak memiliki biaya, mau beasiswa kalah bersaing, bahkan mau kerja sulit di dapat maka bukan berarti itu adalah takdirnya. BUKAN!
Karena kelebihan anak mondok itu, yang diajari “ilmu Allah” insya Allah pasti diliputi keberkahan ilmu, diiringi doa para Ustadz dan Kiai (bukan sekedar guru!), diiringi doa orangtua yang sholeh, maka yakinlah takdir baik itu akan datang selama tidak berhenti berharap.
Kisah hikmah inspiratif tentang hal di atas saya dapatkan dari sosok alumni yang luar biasa, Ustadz Abdillah Hakim, atau Beliau lebih suka dipanggil Kang Hakim, dari Surabaya.
Sangat lama menanti kesedian Beliau berbagi kisah, karena hal yang khas saya temui pada banyak alumni Gontor: ketawadhuan. Mereka merasa tidak bisa menjadi inspirasi, mereka merasa belum jadi apa-apa, belum ada yang layak untuk dibagikan. Masya Allah.

Kalau sudah demikian, makin bernafsu saya menggali kisah dari mereka, hehehe.
Ups, preambulnya kepanjangan
Lalu bagaimana kisah Kang Hakim?
Begini, berawal dari rekomendasi Kang Ustadz Jalil, alumni 92, saya disuruh menghubungi Kang Ustadz Abdillah Hakim (selanjutnya akan disebut Kang Hakim saja) seorang Konsultan Oil & Gaz yang jasanya dipakai oleh perusahan-perusahaan perminyakan asing. Wow, lulusan Gontor ada yang menjadi tenaga ahli Oil dan Gas? Pasti anaknya pintar, pasti dengan gampang masuk institut teknologi yang bonafid dan orangtuanya pasti tajir karena untuk masuk kampus itu tidak murah. Frame ini sudah tertanam sebelum bisa kontak dengan Beliau.
Kontak pertama gagal. Beliau merasa Ustadz Jalil salah kasih nama. Beliau merasa tidak atau bukan seseorang yang bisa menginspirasi. Kontak kedua gagal sebab Beliau sedang dalam critical moment dalam pekerjaannya, wah saat itu saya merasa bersalah karena telah mengganggunya.
Setelah sekian lama, tiba-tiba ada miscall Whatsapp dari Beliau. Sepertinya Beliau salah pencet ðŸ¤. Berharap Beliau masih ingat maka saya kontak dan tanyakan lagi. Ternyata benar, Beliau dalam kesibukan karena lagi di perjalanan menuju Jambi dalam urusan pekerjaannnya. Gagal lagi nih, saya fikir. Tapi tetap saya beranikan diri minta waktu untuk menelpon langsung. Dan ternyata … Beliau kasih kesempatan besok pagi!. Alhamdulillah.
Paga-pagi, maka saya konfirmasikan lagi kesiapan Beliau. Ternyata dibalas ini:

Beliau lagi sarapan ðŸ¤, Hmmm yummmmiiiiyyy. Terlintas, kapan ya saya bisa sarapan komplit gitu, hehehe.
Alhamdulillah setelah selesai sarapan, telpon tersambung. Alhamdulillah untuk kesekian kali mendapat banyak inspirasi dari orang hebat. Begini kisah Beliau.
Bercita-cita Masuk Al Azhar
Kang Hakim mengaku, di pondok, ia tidak termasuk santri yang pintar. Bahkan ia mengaku termasuk santri yang “nakal”. Ia lulus dengan tidak istimewa alias biasa saja.
Walau demikian, sebagaimana lulusan pesantren, ia sangat ingin melanjutkan kuliah di Al Azhar. Menurutnya jika ingin belajar agama, kurang puas baginya jika hanya kuliah di dalam negeri. Ia ingin langsung menuju pusat keilmuwan Islam, yaitu Al Azhar.
Tapi keinginannya saat itu tidak bisa terwujud. Pertama mungkin karena bisa jadi kalah bersaing dengan alumni lain, dan juga kondisi keuangan orangtuanya tidak memungkinkan.
Kang Hakim bukan dari keluarga berada. Ayahnya yang sudah tua memang memiliki toko material namun dalam kondisi pailit alias akan bangkrut.
Beliau tidak ingin membebani orangtuanya dengan harus membiayai lagi sekolahnya. Ia merasa seumurnya sudah bukan lagi menjadi beban malah seharusnya membantu mereka.
Maka Kang Hakim memilih untuk tidak kuliah selepasnya dari Gontor
Hidup “Luntang-lantung”
Sebenarnya ada keinginan Kang Hakim untuk kuliah, tapi kondisinya memaksa lain. Selama tahun pertama selepas Gontor, ia merasa hidupnya luntang-lantung.
Untuk mengisi hari-harinya, ia kadang berpindah-pindah mengajar ngaji di lingkungan dekat rumahnya, kadang kerja apapun alias serabutan agar bisa memiliki pemasukan.
Kang Hakim yang mempunyai hobi perlistrikan sempat juga serabutan menjadi instalatur audio mobil. Dan beberapa kali jasanya dipakai untuk sekedar mendapatkan penghasilan agar bisa mandiri. Karena
Namun dalam dua tahun setelah lulus Gontor itu, sama sekali belum terbayangkan kesuksesan apa yang bisa diraih.
Sempat Terjebak di Dunia Malam
Kondisi seperti di atas yang terjadi pada anak muda yang nota bene lulus dari sekolah atau pesantren favorit, kadang bisa membuat sang anak patah semangat. Merasa sekolah yang “besar” tidak memberi manfaat bagi masa depannya, bisa jadi akan menjerumuskan anak tersebut dalam pelampiasan yang tidak terkontrol.
Tidak persis seperti itu tapi terpercik sedikit dalam perjalanan hidup Kang Hakim. Ia sempat hidup dalam “kehidupan malam“! 😱😱
Merasa sudah memiliki pendapatan, dan berteman dengan orang-orang yang memiliki mobil, yang mungkin ia kenal dari keahlian menjadi instalatur audio mobil, ia menjadi sering nongkrong dari cafe ke cafe, pub ke pub. Dan jika ia tidak hadir, teman-temannya nongkrongnya mencarinya. “Ga ada lu ga rame!” mungkin demikian kata teman-temannya.
Demikian hari-hari yang dilalui seorang lulusan pesantren “keren”, Gontor.
Sampai titik ini, mungkin sebagian kita sudah mencap: “habis masa depan lo!”, “Sudah rusak hidup lo!” dan lain sebagainya.
Tapi tidak dengan jalan yang Allah takdirkan bagi Kang Hakim. Bisa jadi doa Kiai atau ustadznya, bisa jadi doa orangtua, bisa jadi karena keberkahan ilmu yang pernah dituntutnya, Allah berhak memberikan takdir sesuai Kehendak-Nya.
Order yang Menjadi Jalan Perubahan
Suatu ketika, melalui kakaknya, Kang Hakim mendapat order memperbaiki audio mobil seorang dosen ITS (Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya). Kondisi perlistrikan mobil itu sangat parah: kabel serabutan, kualitas suara yang tidak bagus, dan pemasangan yang tidak rapi.
Berkat keahliannya, Kang Hakim bisa merapikan itu semua dengan serapi-rapinya sehingga menimbulkan ketakjuban dosen ITS itu. Dia melihat cara kerja Kang Hakim begitu cermat, dan ahli tapi dia heran mengapa orang sepintar ini tidak meneruskan sekolah.
Kemudian terjadilah dialog antara dosen itu dan Kang Hakim.
“Kerjaan kamu begitu rapi, dan ahli. Kenapa kamu ga sekolah lagi?” tanya dosen itu. Dosen itu dosen jurusan perkapalan di ITS yang juga sebenarnya sangat memahami teknik.
Kemudian dijawab Kang Hakim seperti alasan di atas, ia tidak mempunyai uang untuk melanjutkan sekolah.
Kemudian dosen itu berucap:
“Sejago apapun skill kamu, sehebat apapun kamu, tapi kamu masih tinggal di Indonesia. Indonesia itu masih butuh ijazah. Kalau kamu tidak punya ijazah sesuai keahlianmu kamu ya akan gini-gini aja.” ujarnya yang kini sudah wafat.
“Jadi sebaiknya kamu melanjutkan kuliah. Masalah yang lain gampang.” tambah dosen itu lagi.
“Tapi ijazah saya ga bisa buat kuliah Pak.” kata Kang Hakim Saat itu ijazah Gontor memang belum diakui setara dengan sekolah lain sehingga tidak bisa langsung dipakai untuk kuliah di kampus negeri.
“Gimana caranya, kamu usahakan bisa dapat ijazah SMA”
Dialog itu menjadi titik perenungan Kang Hakim dan juga menjadi motivasinya untuk kembali bermimpi tentang masa depan lebih baik.
Melanjutkan SMA Selama Satu Tahun
Akhirnya Kang Hakim bertekad agar bisa kuliah. Usianya tidak memungkinkan lagi mengikuti UMPTN saat itu (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Alternatifnya ambil D3. Tapi ia tetap butuh ijazah.
Pada tahun 1994. ijazah Gontor memang belum disamakan. Jadi untuk masuk universitas negeri, alumni Gontor harus mengambil ujian Paket C agar mendapat ijazah yang disamakan. Tapi dengan alasan bukan sekedar ijazah yang diinginkan melainkan juga ilmunya, Kang Hakim tidak mengambil ujian Paket C melainkan masuk SMA!
Tapi ia tidak akan mengulang SMA selama 3 tahun melainkan ia mencari SMA yang mau menerimanya sekolah hanya dengan satu tahun. Ya satu tahun saja.
Diragukan Kemampuannya, tapi …
Hampir tidak ia temukan SMA yang mau menerimanya walau akhirnya didapati SMA yang bersedia menerimanya, sebuah SMA “pinggiran” di kampung yang tidak terkenal yang bisa dilobby.
Kang Hakim langsung mengambil jurusan A1. Saat itu SMA masih ada penjurusan. Dan jurusan A1 adalah jurusan exact yang biasanya diisi oleh anak-anak pintar.
Sekolah sempat meragukan pilihan Kang Hakim. Mereka tidak yakin seorang lulusan pesantren yang sudah “nganggur” dua tahun kemudian mengambil jurusan A1 dan berharap lulus dalam waktu satu tahun. Dan berharap bisa kuliah masuk ITS. Mereka meragukan itu.
Tapi Kang Hakim meyakini pilihannya.
Dan disinilah Kang Hakim kembali merasakan manfaat didikan Gontor. Mental yang kuat dan kesungguhan dalam menekuni suat pekerjaan sudah khatam ia dapatkan di Gontor.
Ia belajar seperti “orang gila”. Semua materi eksak seperti matematika, fisika, kimia dan lain-lain dari pelajaran kelas 1 hingga kelas 3 dilahapnya dengan ngotot. Guru-guru semuanya takjub. Belum pernah murid di sekolahnya seperti Kang Hakim.
Setiap hari ia belajar berikut les tambahan untuk materi-materi yang tertinggal dari kelas satu. Walau murid dadakan tapi kemampuannya melebihi murid-murid yang lain.
Setelah satu tahun, akhirnya Kang Hakim lulus. Alhamdulillah!
Dan satu catatan, dosen ITS yang diceritakan sebelumnya di atas tidak hanya memotivasi dan mendorong Ustadz Hakim untuk melanjutkan sekolah tapi juga membantu secara finansial. Masya Allah! Semoga Allah sumbangsihnya menjadi amal jariah yang tidak terputus. Aamiin.
Persaingan Tes Kerja yang Ajaib
Akhirnya Kang Hakim masuk Teknik Perkapalan di ITS, Hingga S1 semua ditempuh kurang dari 4 tahun! Masya Allah.
Baru saja lulus, ternyata di kampusnya ada presentasi dari sebuah perusahaan perminyakan dan gas asing dari Perancis yang akan merekrut karyawan baru. Nama perusahaan itu adalah Schlumberger.
Disini kembali tampak jalan Allah yang ajaib.
Kang Hakim tidak mengetahui adanya presentasi itu, bahkan ika tidak mengikuti sesi perkenalan hari pertama dari perusahaan itu. Ia baru mengetahui ketika teman kosnya memberitahu ketika sesi perkenalan hari pertama sudah selesai. Dan ia disuruh mengikuti saja sesi hari keduanya.
Tapi formulir pendaftaran habis. Tidak hilang akal, formulir milik temannya ia fotokopi.
Di hari kedua pun yang merupakan tes sesi pertama, Kang Hakim datang terlambat dan tidak mempersiapkan alat-alat ujian seperti kalkulator.
Karena terlambat, ia duduk paling depan. Tepat didepan yang menguji. Soal-soal ujian semua dalam bahasa Inggris, baik fisika maupun matematika. Dan soal-soal matematika memerlukan kalkulator untuk menyelesaikannya. Dan Kang Hakim tidak membawanya!
Kang Hakim kerjakan soal-soal yang ia bisa ia jawab tanpa kalkulator. Menurut Kang Hakim, teman-teman di belakangnya bisa mengerjakan soal dengan “bekerjasama” karena jauh dari pengawas. Sedang ia tidak bisa! Tapi sekali lagi pengalaman di Gontor sudah kenyang dengan sistem seperti itu.
20 menit sebelum ujian berakhir, baru Kang Hakim bisa meminjam kalkulator dari temannya yang sudah selesai mengerjakan. Ujian pertama selesai ia lakukan.
Saat itu yang mengikuti ujian di kampusnya ada sekira 125 orang. Dan hanya akan lolos 15 orang untuk mengikuti tes wawancara.
Dan ternyata dari 15 orang itu ada nama Kang Hakim! Ia lolos.
Saat tes wawancara dilakukan dalam bahasa Inggris. Sementara yang lain keder karena tidak terlalu menguasai bahasa Inggris, Kang Hakim justru siap. Dan kembali, bekal muhadhoroh di Gontornya sangat membantu.
Saat itu ia diwawancarai oleh penguji bermarga Situmorang, seorang nasrani dari Medan. Penguji ini memuji kemampuan bahasa Inggris Kang Hakim, setelah mengetahui dari CV (Curriculum Vitae) bahwa Kang Hakim lulusan Gontor. “Pantas, kamu berani dan pintar bahasa Inggrisnya, ternyata kamu lulusan Gontor!” Kata pengujinya.
Dari 15 orang yang ikut tes wawancara, dua hari berikutnya langsung diumumkan 4 orang yang lolos untuk tes lanjutan di Jakarta. Dan Kang Hakim termasuk di dalamnya.
Di Jakarta Kang Hakim “diadu” lagi dengan calon rekrutan dari kampus lain, ada 15 atau 16 orang dari kampus-kampus ternama seperti ITB, UI, UGM dan lain-lain. Dari 15 atau 16 orang itu yang nantinya akan resmi direkrut adalah 6 orang.
Dan nama Kang Hakim masih ada di sana. Masya Allah
Seluruh perjalanan ini saya menyebutnya sebagai proses yang ajaib. Memang ada usaha Kang Hakim disana tapi dengan berbagai peristiwa yang seperti ‘keberuntungan” sebenarnya ada rahasia takdir Allah di sana, yang bisa jadi terjadi karena doa Kang Hakim, atau doa Kiai dan assatidznya, bisa jadi karena sentuhan tetesan airmata orangtua dalam berdoa, tapi yang jelas, Allah melapangkan jalan itu.
Episode Baru dalam Hidup Kang Hakim
Setelah direkrut perusahaan Perancis itu, dalam beberapa bulan Kang Hakim dikirim ke Perancis untuk mengikuti Short Course di sana. Walaupun namanya kursus singkat, tapi bebannya tidak main-main! Materi pengenalan dunia petroleum enginering dan gas yang biasanya dikuasai dalam satu tahun harus dilahap dalam beberapa pekan!.
Setiap pekan ujian, setiap pekan ujian. Gagal dalam satu materi bisa langsung dipulangkan. Dan tiba di Indonesia pasti langsung dipecat!
Dan Alhamdulillah, itu bisa dijalankan dan ditempuh dengan baik. Ia lulus dalam short course itu.
Kang Hakim akhirnya menjadi employee di perusahaan itu. Dan ia menjalaninya hampir 12 tahun, dari tahun 1999 hingga tahun 2010.
Tahun 2010 ia memilih mengambil tantangan baru dengan menjadi konsultan freelance.
“Bahasa diplomasinya mencari tantangan baru, bahasa realnya mau mencari income lebih besar,” kata Kang Hakim sambil tertawa.
Kang Hakim yang memiliki spesialisasi well testing, atau pengujian sumur minyak dan gas mulai berpetualang dari perusahan satu ke perusahan lain yang meng-hire keahliannya.
Jasa konsultannya ini membuatnya melanglang ke Oman, ke Irak dan beberapa negara lain di luar. Jika di Indonesia, keahliannya pernah di-hire Pertamina, Citic Gas di Ambon dan banyak perusahaan lain.
Pada tahun 2015 hingga sekarang, Perusahaan Repsol awet menggunakan keahliannya.
Dan diperusahaan terakhir saat saya telpon Beliau sedang melakukan pengujian sumur minyak dan gas baru di Jambi. Dan panggilan meeting kembali menghentikan pembicaraan luar biasa inim
Penutup
Saat ditanya bagaimana Gontor bisa melahirkan seorang ahli perminyakan. Kang Hakim memberi jawaban yang indah. “Gontor tidak menyiapkan keahlian tapi menyiapkan mental yang kuat“.
Gontor memang tidak membentuk seseorang menjadi ahli, tapi lebih pada membentuk karakter yang siap untuk itu.
Dari mental itu, seorang alumni yang bisa memanfaatkannya akan memberi manfaat yang luar biasa untuk dirinya dan untuk manfaat orang banyak ketika ia turun di “dunia nyata”
Jikalaulah tidak terpikir pembaca akan bosan dengan tulisan yang panjang, ingin rasanya menulis hikmah yang banyak dari kisah perjalan Kang Hakim karena sesungguhnya banyak sekali yang bisa dijadikan pelajaran, tapi izinkan saya menuliskan ringkasan dari beberapa poin.
- Bahwa anggapan orang, perkiraan orang bukan masa depan kita.
- Bahwa selama masih menikmati waktu, harapan itu masih ada.
- Jangan remehkan doa-doa orang yang peduli dan mencintai kita, siapa tau itu yang mempengaruhi takdir kita.
- Di saat anak sekolah di pesantren, jika mereka tidak terlalu pintar atau tidak lulus dengan mumtaz bukan berarti masa depannya tidak akan lebih baik dari yang pintar. Para santri itu mempelajari ilmu Allah, maka tentu Allah tidak akan menyia-nyiakan orang-orang yang belajat itu.
Semoga bermanfaat. Terima kasih Kang Ustadz Hakim atas pengalaman yang luar biasa dan inspiratif dan juga Ustadz Jalil yang menjadi jalan. Barokallah.